ILMU
LEAK DALAM TEOLOGI HINDU
Oleh
I
MADE ADI SURYA PRADNYA
I. PENDAHULUAN
Keberadaan
Agama Hindu membawa pengaruh besar bagi kebudayaan masyarakat Indonesia pada
umumnya dan Bali khususnya. Pengaruh Hindu menyebabkan masyarakat menghayati
keberadaan Tuhan dengan sebuah pembuktian yang tidak dapat dipikirkan dengan
akal sehat, yaitu dengan kekuatan ilmu gaib. Dengan kemampuan tersebut
seseorang akan dipandang dan dihormati serta disegani, terlebih kemampuan yang
dimiliki dipergunakan untuk membantu sesama.
Hindu merupakan agama
bersumber dari kitab suci Weda dan merupakan agama wahyu yang diterima oleh
maharsi berdasarkan pengalaman intuisi spiritual (Aparoksa-Anubhuti) dalam kitab-kitab upanisad,
pengalaman-pengalamanya ini bersifat langsung dan sempurna. Pengalaman spiritual para rsi ini merupakan autoritas
kebenaran-kebenaran yang tak ternilai dan membentuk kemuliaan Hinduisme
(Sivananda, 2003: 2). Kekuatan Spiritual maharsi mampu mendengarkan suara alam
yang diwahyukan Tuhan dan dipercaya oleh umat manusia sebagai sebuah ajaran
agama yaitu Hindu.
Kekuatan spiritual yang diterima maharsi merupakan warisan kepada seluruh
umat manusia mencapai kebebasan. Sumber spiritual Hinduisme dalam Kitab suci
Weda terdiri dari 4 bagian ditulis dalam bahasa Sansekerta kuno, bahasa Suci
India dan Weda merupakan otoritas religius tertinggi bagi hampir semua tradisi
Hinduisme. Masing-masing bagian weda memiliki beberapa periode berbeda
kemungkinan antara tahun 1500 dan 500 SM. Bagian tertua adalah Reg, Weda
berisikan kidung pujian dan doa-doa suci dilanjutkan dengan ritual-ritual
pengorbanan yang berkenaan dengan kidung pujian vedik dan terakhir kitab-kitab upanisad. Kitab Upanisad berisikan
intisari pesan spiritual Hinduisme, filosofis dan praktisnya (Capra, 2000:80).
Perkembangan Hindu di Indonesia pada abad ke-4, membawa pengaruh dan
perubahan besar bagi masyarakat Indonesia, antara lain berupa tulisan dan
sistem kerajaan, sehingga lahirlah kerajaan-kerajaan bersifat Hindu di
Indonesia (Gelgel, 1996: 104). Kerajaan
Hindu pertama di Indonesia berada di Kalimantan, pada abad ke-4 yaitu Kutai
sampai runtuhnya Majapahit di Jawa pada abad ke-15, bukti perkembangan agama
Hindu di Indonesia yang dapat kita temukan sampai hari ini, berupa
peninggalan-peninggalan diantaranya bangunan candi, seperti Candi Prambanan,
Candi Kalasan, Candi Singosari. Peninggalan berupa arca dewa seperti Arca Siwa,
Arca Ganesha, Arca Durga, Arca Wisnu dan lain sebagainya, serta peninggalan
karya seni berupa hiasan-hiasan pengisi pada bangunan candi, relief, pola
hiasanya berupa mahluk gaib yang dipasang di depan candi yang disebut Kepala Kala atau Banaspati dan peninggalan berupa kesusastraan seperti Arjunawiwaha, Lubdhaka dan beberapa
sastra-sastra tentang kekuatan ilmu gaib seperti Calonarang (Gelgel, 1996: 124-133).
Peninggalan kerajaan Hindu di Indonesia membuktikan bahwa Agama Hindu dapat
diterima dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia sampai sekarang.
Peninggalan kerajaan Hindu juga dirasakan masyarakat di Pulau Bali, sebab Hindu
masuk ke Bali dan berkembang karena pengaruh jawa, tepatnya Jawa Timur,
diantaranya pengaruh politik, ekonomi, kesusastraan maupun keagamaan. Sejarah
Indonesia mengaratakan raja-raja Jawa Timur mengadakan hubungan dengan Pulau
Bali karena alasan-alasan politik ataupun kekeluargaan dengan raja-raja di Bali
(Pendit, 1963:18).
Salah satu dampak bagi Bali terhadap Kejayaan Majapahit ialah kesusastraan
dan Agama Hindu. Kesusastraan yang paling dikenal pada masa Mahendradata ialah Calonarang, yang berisikan cerita ilmu
gaib dan sangat digemari masyarakat Bali sampai saat ini. Masyarakat percaya
Raja Mahendradata dimakamkan di daerah Kutri, Gianyar dan di makam beliau
dilukiskan Arca Durga Mahisasura Wardhini,
arca ini menguatkan dugaan bahwa Mahendradata sebagai penganut ajaran-ajaran
ilmu gaib dan Dewi Durga yang
memberikan anugrah kesaktian tersebut (Pendit, 1963:54).
Menurut Capra (2000: 80) mayoritas orang Hindu adalah penduduk desa
sederhana yang menjaga agama popular ini tetap hidup dalam ritual pemujaan
mereka sehari-hari, Hinduisme melahirkan banyak guru spiritual luar biasa yang
menyebarkan berbagai wawasan mendalamnya. Hal itu
disebabkan Hinduisme mengajarkan mistik, Istilah Mistik berasal dari
bahasa Yunani “Muo” yang berarti
tersembunyi dan mengandung rahasia. Dengan demikian Mistik mengacu pada ritus
yang rahasia, bukan mengacu kepada ajaran atau pengetahuan yang bersifat esoterik (Surahardjo, 1983:1).
Masyarakat Hindu di Bali mengenal ajaran-ajaran mistik dan sangat
dirahasiakan atau sering disebut Aja Wera.
Ajaran tersebut dituangkan dalam teks-teks Hindu lokal yang disebut lontar, pada zaman kerajaan di Bali
masyarakat melaksanakan kehidupan spiritual dengan belajar kediatmikan berupa
ajaran-ajaran yang dirahasiakan untuk membantu dan melindungi kerajaan dari musuh.
Selain itu ajaran kediatmikan sering dipergunakan membantu sesama, yaitu
melindungi masyarakat dari serangan binatang buas, wabah penyakit, serta
memahami keberadaan Tuhan. Ajaran kediatmikan mengandung kekuatan gaib dan
mistik, sehingga banyak para Mpu, Rsi maupun orang suci dari Jawa datang ke
Bali mencapai penglepasan atau Moksa.
Kedatangan orang suci ke Bali memberikan perubahan besar pada kehidupan
masyarakat Bali, seperti diangkatnya orang Bali sebagai murid, sehingga
ajaran-ajaran Hindu menjadi ajaran yang diterima masyarakat berdasarkan Lokal Genius. Orang Bali dapat menjadi seorang pemimpin maupun menjadi
seorang brahmana, asalkan menguasai ajaran kesusastraan maupun ajaran rahasia,
karena ajaran tersebut menjadikan seseorang cerdas, bijaksana dan memiliki
kesidhian melindungi rakyatnya. Tentunya ajaran rahasia tidak mudah dipelajari
tanpa adanya tuntunan atau anugrah dari seorang guru maupun Ida Bhatara atau anugrah para Dewa.
Oleh karena itu ajaran Leak juga
tidak bisa diartikan sebagai black magic maupun white magic, sesungguhnya
Leak adalah ajaran lurus, jika tidak
dikesampingkan. Hal ini dibuktikan masyarakat Bali, menjadikan ajaran leak yang dianggap magis dalam
pementasan tari sakral, seperti Calonarang,
yang biasanya dipentaskan pada upacara di Pura Dalem (Kahyangan Durga saktinya Siwa), hal ini dilaksanakan karena Ilmu Leak merupakan ajaran yang termuat dalam
kesusastraan, kemudian masyarakat Bali dalam perkembanganya memiliki pula
cerita Ki Balian Batur. Kedua cerita
ini sangat dipercaya dan diyakini sebagai awal adanya ilmu Leak di Bali.
Ilmu Leak secara tersirat dan
tersurat menjadi icon ajaran
kadiatmikan masyarakat Bali. Begitu pula perkembangan ilmu pangleakan berlahan-lahan berubah menjadi ajaran sesat, hitam dan
negative, karena ajaran yang dipergunakan untuk melindungi kerajaan dan wabah
penyakit digantikan oleh perubahan zaman, seperti wabah penyakit dapat
disembuhkan dengan pemberian vaksin di rumah sakit, kegelapan lampu jalan
digantikan lampu penerangan, keamanan masyarakat menjadi tanggung jawab
pemerintah dan masih banyak lagi peran ilmu leak
digantikan mesin-mesin modern, berbeda dengan zaman dulu siapapun menguasai
ilmu leak sampai tingkat tertinggi,
secara otomatis ilmu leak rendah akan menghormati dan tidak berani melawan ilmu
leak tinggi, sehingga orang yang
menguasai ilmu leak tinggi dan cinta
rakyat maupun kerajaan, maka kerajaan dan rakyat bertambah besar dan agung,
begitu pula sebaliknya.
Perkembangan ilmu Leak menjadi
ajaran yang dianggap negatife oleh pandangan masyarakat karena ilmu ini
dipergunakan untuk menyakiti orang sekitar, terutama keluarganya sendiri,
karena karakter orang Bali memiliki dendam dan iri hati terhadap keluarga
terutama saudaranya sendiri. Banyak pandangan masyarakat memberikan penilaian
terhadap orang Bali, yaitu susah melihat saudara maju, sukses dan menjadi kaya,
sehingga muncul niat-niat buruk mencarikan hambatan terhadap karier
keluarganya. Ada sebuah anekdok
masyarakat Bali seperti ayam Bali yang sibuk berkelahi dengan saudaranya
sendiri tanpa menghiraukan ayam bangkok yang datang dan makan di daerahnya. Hal
ini terjadi karena tidak ada musuh, seperti zaman kerajaan, akibatnya keluarga
sendirilah yang dijadikan musuh.
Ilmu Leak dipercaya oleh
masyarakat Bali, terdiri dari dua ajaran, yaitu Pangiwa dan Panengen.
Berarti ajaran Kiri dan kanan, dengan demikian ilmu ini dapat dipergunakan
sebagai kekuatan negative dan dapat pula dipergunakan untuk hal yang positif,
tergantung pemakaianya. Pengertian tersebut sama halnya dengan berbagai ilmu
yang berkembang, seperti ilmu Nuklir dapat dipergunakan untuk kebaikan dan
dapat pula untuk mencelakakan orang, Ilmu fisika, Biologi, Kimia dan lain
sebagainya dapat dipergunakan untuk positif maupun negative. Bagi masyarakat
Bali orang yang menguasai ilmu usadha
(pengobatan) pun dikatakan menguasai ilmu Leak,
praktisi ilmu leak disebut Balian, Mangku Balian, Jro Balian,
bahkan hampir profesi di bidang spiritual masyarakat Bali mempelajari ilmu Leak, karena dipercaya setiap belajar
kediatmikan mendapat kesidhian dasarnya
ilmu leak.
ilmu
Leak dalam historisnya merupakan ajaran yang mendapat pengaruh Hinduisme dan merupakan bagian dari
Mistik Timur, bahkan merupakan bagian dari teologi Hindu. Hal ini dibuktikan
adanya aksara-aksara suci Hindu, mantra-mantra Hindu, penyebutan Dewa-Dewa
Hindu dan sarana-sarana umat Hindu dalam ilmu leak, tetapi dalam perkembanganya ilmu Leak dianggap sesat, negative dan cenderung Black Magic. Oleh Karena
itu karya tulis ini ingin mengetahui jika benar leak ajaran hitam, mengapa ia memakai ajaran Hinduisme, padahal Hinduisme
mengajarkan dharma menuju Moksa (panglepasan).
II. PEMBAHASAN
2.1 Mantra-mantra dalam Ilmu Leak
Mantra merupakan sebuah kata yang sangat sakral dan
religus, diucapkan oleh banyak orang terutama yang meyakini mantra tersebut.
Berbagai orang bahkan diseluruh negeri tahu dan mengetahui tentang kekuatan
mantra, bahkan mantra dipergunakan pula dalam berbagai kegiatan hiburan,
seperti sulap (bimsalabim abrakadabraaa)
yang tak tampak berubah menjadi tampak, inilah membuktikan kata mantra
menunjukan sesuatu hal yang bersifat magis atau gaib.
Mantra-mantra suci merupakan
mantra yang hanya diperuntukan bagi mereka yang mendapat wewenang
mengucapkanya, bahkan dihormati para pengikutnya. Tidak sembarang orang dapat
mengucapkan mantra suci tersebut, karena perlu proses untuk mengucapkanya, jika
tidak mantra tersebut dapat membalik menyerang atau menyakiti orang tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia memiliki berbagai kebudayaan unik dan menarik yang
dapat mendatangkan kekuatan gaib ke dalam dunia, maupun dalam diri seseorang.
Proses pemanggilan kekuatan gaib tersebut, pastilah mengucapkan mantra-mantra
atau istilah lainya jampi-jampi.
Begitu pula bagi umat Hindu
memiliki banyak mantra pada setiap ritual keagamaanya dan mantra tersebut
terdapat dalam kitab sucinya yaitu weda.
Mantra ini dapat dibedakan menjadi mantra keseharian dan mantra sewaktu-waktu,
tergantung situasi dan kondisi. Mantra menurut agama Hindu berasal dari kata man dan tra. Artinya adalah pengendalian pikiran atau pemusatan pikiran.
Jika seseorang bermantra dengan pikiran ditujukan terhadap sebuah objek, maka
mantra tersebut akan hidup, begitu pula sebaliknya, sehingga orang yang
mengucapkan mantra harus memiliki pikiran yang fokus.
Masyarakat Hindu khususnya di
Bali, mengucapkan mantra dapat berupa weda maupun bahasa sehari-hari, sebab
inti dari pengucapan sebuah mantra adalah fokusnya pikiran, meskipun pengucapan
mantranya sampai membuat orang gembira, tapi tidak diimbangi dengan fokusnya
pikiran, maka tak akan ada gunanya mantra tersebut. Mantra dan pikiran
merupakan satu kesatuan yang wajib dipelajari dan dilatih oleh para penekun
kediatmikan, sebab kedua hal tersebut ibarat korek api dan pematiknya, jika
korek tersebut tidak dipatik, maka tak akan mengeluarkan api begitu pula
sebaliknya. Seseorang yang ingin menyakiti orang lain atau ingin memberikan
pengasih-asih pada seseorang, maka hal yang dilakukan adalah membayangkan
wajahnya sampai jelas dan pengucapan mantra-mantra, sehingga orang yang dituju
menjadi tergila-gila dengan orang yang mengirim mantra tersebut, apabila
seseorang mulai berpikir tentang sesuatu kemudian diucapkan dengan kata-kata
sebenarnya mereka telah bermantra. inilah kekuatan pikiran didalam mantra,
begitu pula dengan mantra-mantra terdapat dalam ilmu Leak mantra-mantra dipergunakan hampir sama dengan mantra yang
sering diucapkan para rohaniawan, mantra dalam ilmu leak menyebutkan beberapa istilah-istilah dalam Hindu terutama Dewa
dan butha, serta paling terpenting
adalah kesiapan diri seseorang untuk mempelajari ilmu leak ini. Hal ini termuat
dalam Tutur Pangiwa, sebagai berikut:
1b. Aji Pangleakan utawi pangiwa, ong awigenam astu. Iki pinaka dasaring pangiwa, yan sira mahyun
manggelaraken pangiwa, iki maka pangawit gelaraken ring sarira, iki pasiwyan
pangiwa, nga., salwiring pangiwa, wenang iki regepakena rumuhun, iki maka
pasiwanya, phalanya sidha kahidep denta, wetu ikang sariranta, kadi iki
regepang: Bhutane di sarira mwah dewane di sarira, ne rumaksa ring sariranta,
dewa ring jero, bhuta ring jaba
Terjemahannya:
Aji Pangleakan atau pangiwa,
Ong Awigenam astu, ini adalah dasar
dari pangiwa, apabila seseorang
berkeinginan mempelajari pangiwa, ini
semua diawali dari dalam diri. Ini adalah Pasiwyan
Pangiwa namanya, semua pangiwa
perlu dipikirkan terlebih dahulu, setelah dipersiapkan dalam diri maka yang
akan dipejari nantinya adalah tentang bhuta
dan Dewa yang terdapat dalam diri manusia, dimana Dewa di dalam dan butha di luar.
Mantra-mantra dalam ilmu leak, memiliki ciri-ciri khusus, yaitu hampir
semuanya menyebutkan istilah-istilah tentang kemarahan, keangkuhan,
kesombongan, ingin menguasai, paling hebat, paling kuasa dan semuanya bersifat
keakuan atau ego yang sangat tinggi, bahkan Dewa pun diperintahkan untuk
menyembah. Jadi ilmu leak ini merupakan
pembangkitan kekuatan dalam tubuh seseorang, sehingga menjadi lebih percaya
diri dan memotivasi seseorang untuk membangkitkan kekuatan diri dalam tubuh
manusia.
Ciri-ciri tersebut, memang benar
adanya, sebab kekuatan dalam diri yang ada dalam mantra-mantra ilmu leak, sebenarnya motivasi dalam diri
untuk kebangkitan rasa superior dalam diri yang dibentuk ego manusianya,
berikut beberapa mantra-mantra dalam ilmu leak:
Iti Pangiwa Cambra Berag, sa., kasa ne genten surat kadi iki rajahanya
ring sor. Mantra ngalekasang, ma: Ong yang nini mala, tan sang angungkuli I
Cambra Berag megulung kurung, tumurun ring Indraprasta, amungkah sakwehing guna
kawisesan,muwah kasaktyan. Yang Nini Saraswati pangaris wong angleak, apan aku
angaji ing leyak, Ah3x, wetu kawisesan, mlesat aku i cambra berag ring akasa,
sumurup ring kuranta bolong, ring tengahing Sang Hyang Surya, apan aku I Cambra
Berag amurtining lewih ring Sang Hyang Surya, mangendih gunankune ring
tengahing Sang Hyang Surya, sing tumoning kasaktyaning hulun padha sinunglap,
tuminghalin awak sariranning hulun,AH3X, tuhun aku ka mrecapada, anuwut aku
rante mas, tumurun ka mrecapada angepang-ngepang, I Cembra Berag magelung
kurung, apan I Cambra Berag lewehing kasaktyane ring mercapada, tan hana
waniya, apan aku saktining lewih pangleakane, sing teka pada anembah ring awah
sariranku. Mijil I Leyak Putih ring wetan, I Siwagandhu angadakang I Leyak
Putih ne ring aku, mijil I Leayak abang ring kidul, I Calonarang angadakang I
Leyak Barak nembah ring aku, mijil Leyak Kuning saking Kulon, sang paripurna
angadakang I Leyak Kuning, nembah ring aku, mijil I Leyak ireng saka lor, sang
nagalomba angadakang I Leyak Ireng, pada nembah ring aku, AH3X, angadeg aku I
Cambra Berag megelung kurung, sing kadleng pada nembah sakwehing mabayu tan
kawasa angucap-ucap awak sarirankune, apan aku sakti, tan hana weni ring aku,
sing teka pada nembah, sing teka pada dungkul, AH3X,ANG UNG MANG
Ajaran I Cambra Berag merupakan ajaran pangiwa
dalam ilmu leak, mantra dalam ajaran
tersebut menunjukan kesombongan dan keangkuhan, dibuktikan dengan penyebutan
kata aku, kata aku menunjukan ego, seperti kutipan baris akhir mantra di atas,”
apan aku sakti, tan hana weni ring aku,
sing teka pada nembah, sing teka pada dungkul” (karena aku adalah paling
sakti, tidak ada yang berani dengan aku, semuanya menyembah kepada aku dan
semuanya tunduk pada aku)
Kekuatan mantra ilmu leak hampir semuanya berisikan tentang pengider-ider, atau arah mata angin. Hal
ini dilakukan agar kekuatan alam semesta dari berbagai penjuru dengan kekuatan
berbeda-beda dapat merasuk dalam diri seseorang tersebut, sehingga akan
menambah magis atau kegaiban yang memicu seseorang mencapai kesidhian, berikut kutipan mantra ilmu
leak tentang pengider-ider:
Iki I
Panca butha, nga. Yan dijaba mawak dhengen, mwah kadi iki, Sanghyang Iswara
jumeneng ring papusuha, kairing dening butha putih -/- Sang Hyang Brahma
jumeneng ring hati ingiring de butha
/2a/bang, Sanghyang Mahadewa jumeneng ring ungsilan, kahiring dening
butha jenar, Sanghyang Wisnu jumneng ring nail, hati, ampru, kahiring de Bhuta
ireng. Sanhhyang Siwa jumeneng ring unduh-unduhaning hati, ingiring dening I
Butha mancawarna, genahnya ring undhuh-undhuhaning hati. Telas mangkana dening
pangeregepang (aji pangiwa).
Berdasarkan hal tersebut di atas
mantra-mantra dalam ilmu leak memakai mantra-mantra Hindu dengan penyebutan
beberapa ajaran-ajaran yang memang diajarakan dalam teologi lokal masyarakat
Bali oleh leluhur masyarakat Bali, contohnya pengider-ider, dewa-dewa, aksara suci dan lain sebagainya.
2.2 Aksara-aksara suci dalam Ilmu Leak
Konsep Teologi Hindu merupakan sebuah konsep tentang
ketuhanan yang meliputi banyak unsur, salah satunya adalah aksara-aksara suci.
Disebut aksara suci karena memang aksara ini mempunyai kekuatan gaib atau magis
religius untuk menyucikan atau membersihkan sesuatu. Aksara ini pada umumnya
dopergunakan sewaktu ada upacara agama atau dalam pengobatan. Aksara suci
terdiri dari 1). Aksara Wijaksara dan
2). Aksara Modre (Nala, 2006: 27).
Aksara bijaksara (bija = benih,
biji) terdiri dari aksara swalalita
ditambah dengan aksara amsa (U O Ā)
atau berupa ulu chandra, kecuali aksara ah, aksara bijaksara terdiri dari eka
aksara ongkara, dwi aksara dan tri aksara, panca aksara, dasa aksara, catur
dasa aksara dan sad dasa aksara,
misalnya: û (Ung), ö (Ang), m‰ (Mang). (Nala, 2006: 27-28)
Aksara
modre lebih berfungsi dan bersifat sebagai lambang, simbol atau niasa dibandingkan penggunaanya sebagai
aksara untuk berkomunikasi. Aksara modre merupakan
aksara yang ditutup anusuara, yang
sulit untuk dibaca karena memperoleh berbagai perlengkapan, busana, pengangge aksara dengan berbagai
variasinya, tidak sesuai dengan aturan tata bahasa bali, apalagi ditulis dengan
sebuah gambaran atau tulisan berwujud simbol atau lambang berkekuatan magis
religius. Untuk membacanya dibutuhkan buku petunjuk khusus yang telah disusun
untuk keperluan tersebut, kitab yang dimaksud adalah Krakah, krakah modre, krakah modre aji griguh, tutur krakah durakah.
Aksara Modre memiliki kekuatan magis
dan spiritual religius sangat tinggi, karena mengandung kekuatan inti dari para
dewa, terutama Dewa Tri Murti, itulah
dikatakan bermanfaat apabila diterapkan dengan banar dan tepat, terutama dalam
bidang usada (pengobatan) (Nala, 2006:
28)
Kekuatan aksara-aksara suci menurut
Hindu, merupakan sebuah kekuatan dari sinar Tuhan, apabila aksara tersebut
dapat dimanfaatkan dengan baik dan diperlakukan demi kepentingan orang lain,
maka masyarakat akan banyak dibantu, terutama masalah pengobatan dan apabila
seseorang salah menerapkan aksara-aksara suci tersebut, maka dipastikan banyak
penderitaan yang akan terjadi tidak saja diri sendiri, tapi juga orang lain
Orang yang mampu membaca aksara suci
merupakan orang suci, karena
aksara-aksara suci merupakan lambang dari para dewa, hanya orang sucilah
yang mampu menembus alam dewa, tapi banyak orang suci yang menyalahgunakan
kesucianya dengan memberdaya orang lain, sehingga hidupnya menderita dan
berpengaruh pada anak cucunya. Siapapun yang mampu menyolahkan sastra (menarikan sastra), maka dia akan diberikan
sebuah hak, seperti hak preogratif
untuk melakukan apapun didunia ini, jika dipergunakan untuk kebaikan, maka dia
mampu menjadi orang yang tak terkalahkan dalam membantu sesama yang memiliki
kesalahan, namun jika dipergunakan untuk kejahatan dengan mudahnya menyakiti
orang, cukup dengan pandangan mata saja, tapi jika orang tersebut tidak kekiri
atau kekanan, tapi lurus ke atas, maka orang ini akan mencapai penyatuan dengan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Aksara suci yang terbagi dalam aksara bijaksara serta modre sebagai sebuah simbol berperanan
menambah kekuatan magis religius usada
di Bali. Setiap balian usada mesti
menguasai tentang pembuatan, fungsi, makna dan cara penggunaan aksara suci Bali
tersebut sebagai sarana dalam pengobatan dan mempercepat proses pengobatan
pasiennya. Oleh karena itu para balian
ini harus mempelajari dengan benar dan sungguh-sungguh tentang tulisan dan
makna dari masing-masing aksara tersebut dan tata cara penggunaanya. Jikalau
salah dalam penulisan dan pemanfaatnya serta ritual yang mengiringinya akan
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan baik oleh balianya sendiri maupun pasienya. Penulisan aksara ini tidak boleh
sembarangan, ada aturan yang harus diikuti dan ditaati oleh setiap balian yang mau menerapkan aksara suci
dalam pencegahan, pengobatan, kewibawaan, kesehatan dan rehabilitasi (Nala,
2006: 32-33)
Balian
yang mendalami tentang pengangge aksara,
terutama Balian Pangiwa, disebut
menguasai ajaran Durga. Penyebutan ini
didasarkan atas tujuan penguasaan ilmu ini disasarkan dan diarahkan ke hal-hal
negatif atau kiwa yang sejalan dengan
tujuan keberadaan dewi atau Bhattari
Durga. Bhattari Durga bertempat
di Pura Dalem dekat kuburan. Ketika
berada di Sorgaloka, sebagai istri Dewa
Siwa, Dewi Durga berparas cantik disebut Dewi Uma. Pada suatu ketika Dewi
Uma berbuat kesalahan, kemudian dikutuk menjadi Durga dan makanannya adalah mayat. Pada suatu hari tidak ada orang
yang meninggal, sehingga Dewi Durga
kelaparan, kemudian beliau beryoga memohon anugrah kepada Dewa Brahma, agar mampu membuat penyakit (wabah), sehingga manusia
jatuh sakit dan meninggal. Melihat ketekunan Dewi Durga, maka Dewa Brahma
memberikan anugrah, tetapi orang terkena wabah adalah orang perbuatan di dunia
menyalahi dharma atau kebenaran. Jika
seseorang sudah berbuat dharma,
berbuat kebajikan dalam menjalani kehidupanya didunia, hidup sesuai aturan
kesehatan, maka dia tidak akan terkena wabah yang disebar Dewi Durga. (Nala, 2006: 48-49)
Setiap aksara mengandung sebuah
kekuatan magis, jika aksara satu saja diputar-putar atau dimainkan kemudian
diarahkan ke tujuanya, pasti akan ada reaksi, contoh jika aksara Ongkara Sungsang ( ¹ ) ditempatkan di setiap sudut pengusung bade ditambah dengan kekuatan dasabayu, maka berapapun pengusung bade akan merasa berat untuk mengangkat bade tersebut, begitu pula sebaliknya,
jika ongkara ngadeg ( ý ) ditempatkan disetiap sudut, meskipun
pengusung hanya beberapa orang, namun bade
terasa ringan jika diangkat itulah kehebatan orang yang dapat memainkan sastra.
Di Bali para Balian Pangiwa sering memanfaatkan pengangge aksara untuk tujuan membencanai orang lain. Tujuanya
bertentangan dengan dharma, pengangge
aksara wisah ( ; ) dapat dipergunakan untuk aneluh, sebuah kemampuan membuat teluh. Teluh merupakan
sosok mahluk mirip manusia dengan muka bengkak besar, mata mencorong, seperti rangda. Bila mampu menggabungkan pengangge aksara wisah ( ; ) dengan taling
( e ), maka kemampuanya dapat
dipergunakan untuk anerangjana, suatu
kemampuan untuk terangjana. Terangjana adalah sosok lawat atau bayangan mahluk berwujud
manusia. Jika Pengangge Wisah ( ; ) , taling
( e ), dan cecek ( .... ) ) digabungkan
jadi satu dapat dipergunakan untuk anuju,
suatu kemapuan untuk membuat tuju teluh,
berarti dia mampu membuat sosok mahluk mirip manusia dengan berbagai bentuk
yang menakutkan sesuai dengan sasaran
yang dituju. Agar mampu mengubah diri menjadi binatang atau bentuk lainya
dipergunakan pengangge Wisah ( ; ), taling ( e ),, cecek ( .... ) ) dan suku (...
.u), sehingga menjadi ( ;;*e e*** *,.u.u ),,
maka dia disebut Leak, leak adalah sosok mahluk manusia yang
tampak seperti binatang atau benda lainnya akibat mata orang tersihir atau
terhipnotis oleh kekuatan gaib yang dipancarkan oleh badan orang yang menjadi Leak tersebut. Leak tingkat pertama adalah leak
rendah yang baru bisa menjadi kera, tingkat kedua menjadi kambing, tingkat
ketiga menjadi bangkal, tingkat
keempat menjadi ular, bahkan mobil, pada tingkat lima menjadi gegendu (kerbau kaki tiga), tingkat enam
menjadi Bade pengusung mayat, tingkat
tujuh menjadi pudak sitegal atau
wanita cantik, tingkat delapan menjadi waringin
sungsang (pohon beringin terbalik), tingkat sembilan menjadi sinar atau
apapun yang diinginkanya. Apabila sudah mencapai tingkat sembilan, maka orang
tersebut sudah menjalankan aksara dengan bebas, sesuai kemauan, maka dia sudah
disebut seorang Desti. Dimaksud
dengan Desti adalah kemampuan untuk
menyakiti orang lain agar jatuh sakit melalui media, media berupa rambut, kuku,
tanah, pakaian, perhiasan dan benda milik target. Apalagi balian tersebut mampu
mempergunakan Panca Aksara, Tri Aksara,
Dwi Aksara sebagai badan kasarnya, maka dia disebut Raja Agung atau raja
besar, ahli Desti Mahautama.(Nala,
2006: 49-51)
|
|||
![]() |
||||||||
|
||||||||
![]() |
||||||||
![]() |
||||||||
|
||||||||
![]() |
||||||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
|
|||||
Aksara-aksara
suci Bali dalam teologi lokal Bali, merupakan warisan para leluhur masyarakat
Bali, yang tertuang dalam beberapa teks-teks termasuk juga teks-teks berkaitan
tentang ilmu leak, aksara-aksara suci
terdapat dalam mantra-mantra ilmu leak,
bahkan eka aksara yang merupakan
perwujudan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
sering dipergunakan dalam ajaran ilmu leak,
berikut penjelasan tentang eka aksara:




Ulu Chandra biasanya dipakai menyengaukan huruf-huruf gaib, yang
lazim dipergunakan menulis kata-kata bijaksara,
weda dan mantra, misalnya
s‰,b‰,t‰ ,ö,÷‰
,n‰,m‰,µ, w‰,y‰,
Yan mangkana suarania
pengundang Dewa. (Nyoka,
1994: 23)
Dalam sastra-sastra ilmu leak yang sering dipergunakan adalah
penyatuan terhadap aksara-aksara suci, jika mampu memanunggalkan aksara-aksara
tersebut sampai pada tingkat ongkara,
maka mereka mendapat sebuah anugrah luar biasa. Aksara tersebut menggabungkan Sodasaksara menjadi Catur Dasa Aksara, Catur Dasa Aksara menjadi dasa aksara, dasa aksara
menjadi panca aksara, panca aksara
menjadi tri aksara, tri aksara
menjadi dwi aksara, dwi aksara
menjadi eka aksara yaitu ongkara itu sendiri, maka yang
bersangkutan akan mampu berbuat apapun didunia ini, bahkan pada tahap
penyatuan.
2.3 Dewa-dewa dalam ilmu Leak
Konsep ajaran agama Hindu khususnya
pada teologi pastilah berpedoman Pada kekuatan Tuhan atau manifestasi-Nya.
Kekuatan manifestasi tersebut terdapat beberapa sebutan kemahakuasaan beliau,
seperti Bhattara/bhattari, Dewa-dewa,
rerencangan, pepatih dan lain sebagainya, semuanya ini terdapat dalam teologi
lokal suatu daerah.
Selain sebutan Tuhan secara khusus,
Tuhan juga memiliki sebutan umum, seperti Tuhan mahakuasa, maha pengasih, maha
penyayang, maha pengampun dan lain sebagainya, berdasarkan sebutan tersebut
Tuhan akan memberikan anugrah kepada siapapun yang berbhakti lebih khusuk
dibandingakan orang lainya, sehingga Tuhan juga akan memberikan anugrah kepada
umatnya, meskipun permintaan umatnya menyimpang dari ajaran agama, karena
tujuanya agar orang yang disakiti lebih sadar menjalankan ajaran dharma, hal
tersebut terdapat dalam beberapa lontar, salah satunya lontar kalatattwa:
................kunang yan hana wang wruha ring pengastutyane kita wenang sira aweha
kasidyan ta, sapamintanya yogya tuten den ta lawan sawadwan ta kabeh, apan ika
wang sanak ta jati. Ki Manusa Jati, sira makaharan kamanusa jati. Ki Bhuta Jati
juga wenang arok lawan bhuta kala Durga, Bhuta Kala Durga wenang arok lawan
Dewa Bhattara Yang, karaning tunggal ika kabeh, sira manusa, siradewa, sira
bhuta. Bhuta ya, Dewa ya, Manusa ya
Artinya:
..................Janganlah memakan
yang tak patut dimakan, tetapi apabila ada orang tahu perihal pemujaan terhadap
dirimu, maka kamu dapat memberikan anugrah kesidhianmu, apapun yang dimintanya
engkau patut memberikanya bersama seluruh rakyatmu, oleh karena orang yang
demikian itulah saudaramu yang sesungguhnya. Ia disebut sebagai manusa sejati,
manusa sejati dapat bercampur dengan Bhuta
Kala Durga. Bhuta Kala Durga
dapat bercampur dengan Dewa Bhattara
Hyang, karena semua itu adalah satu, ia adalah manusia, ia adalah dewa, ia
adalah butha, bhuta adalah ia, Dewa adalah ia, manusia adalah ia.
Demikian sabda Bhattari Uma dan Dewa Siwa kepada putra beliau Bhattara Kala, kemudian diberi gelar Bhattari Durga, sebagai anugrah Bhattari
Uma di muliakan di Pura Dalem, Sang Hyang Panca Mahabhuta nama Bhattara Kala yang lain, karena beliau
sebagai dewa segala yang dahsyat dan beliau di puja di Pura Baleagung.
Bhattara
Siwa bersabda,”Aum putraku, mulai saat ini engkau kuberi nama Hyang Kala, engkau patut tinggal di Desa
Pakraman. Engkau boleh mengambil jiwa manusia ataupun binatang setiap tahun
pada sasih kasanga, terutama menghukum orang berdosa, jahat, bersenggama tidak
sesuai dengan sila-krama, dharma sasana dan agamanya.
Sabda Bhattara Siwa tersebut, memiliki makna terdalam, sabda tersebut
berisikan ajaran tentang etika sebagai orang beragama, jika ditaati, maka
manusia akan bahagia selamanaya, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu
seseorang yang merasa hidupnya menderita, mesti berintrospeksi diri, agar dapat
hidup lebih baik lagi, siapa tahu penderitaan kita hadapi saat ini adalah
karena ulah kita sendiri, menyebabkan Bhattara
kala merasuk dalam diri kita sebagai manusia. Disamping itu di jelaskan
pula siapapun yang datang hendak memohon anugrah pasti dapat dikabulkan asalkan
permohonan dilakukan dengan kasih dan penuh bhakti, termasuk juga memohon kesidhian menerapkan Ilmu Leak dan menyakiti seseorang.
Menurut Ida Pandita Nabe Natha Ratu
Bagus mengatakan Tuhan dalam wujudnya berbentuk sinar adalah maha pemberi dan
pengasih, jadi ketika seseorang meminta sebuah penyakit untuk dikirim ke dalam
tubuh orang lain, Tuhan pasti mengabulkan, asalkan dilakukan dengan penuh hati
dan cinta dan karma tetap berjalan
dan ditanggung dalam kehidupanya. Meskipun demikian tidak sembarang orang bisa
disakiti, tentu orang tersebut memiliki kesalahan, berbuat jahat, berdosa, sehingga dengan adanya penyakit
menyerang orang tersebut, diharapkan
agar sadar dan tidak mengulangi perbuatanya lagi, inilah pesan moral luar
biasa, yaitu mengajarkan orang untuk meminta maaf dan bertaubat.
Wujud anugrah Tuhan kepada umat,
terdapat juga dalam kitab suci Bhagawadgitha, IX, 22, yaitu:
Ananyas
cintayanto mam
Ye janah
paryupasate
Tesam
nityabhiyuktanam
Yoga-ksenam
vahamy aham
Artinya:
Mereka yang hanya memuja-Ku saja,
tanpa memikirkan yang lainnya serta dengan senantiasa penuh pengabdian, kepada
mereka-Ku bawakan apa yang mereka minta dan melindungi apa yang mereka miliki.
Agama Hindu mengenal manifestasi
Tuhan yang disebut Dewa-dewa, Dewa ini merupakan sinar Tuhan yang menguasai
alam semesta, diantara para dewa, sembilan dewa sangat terkenal dan sering
disebutkan dalam beberapa teks ilmu Leak
sembilan dewa itu disebut Dewata Nawa
Sanga penguasa 9 penjuru mata angin. Dewata Nawa Sanga merupakan sembilan
dewa utama dalam agama Hindu, beliau memilikiperan penting di dunia ini,
seperti: menjadi guru dewa yang telah menurunkan berbagai ilmu pengetahuan
kepada manusia, serta menuntun kita menuju moksa. Dewata Nawa Sanga merupakan
penguasa arah angin dan menjadipelindung serta meberikan vibrasi kesucian di
setiap hari. Dewata Nawa Sanga terdiri dari tiga kata,yaitu: Dewa berarti sinar
suci Tuhan, Nawa berarti sembilan, Sangga berarti kumpulan. Jadi Dewata Nawa
Sanga berarti kumpulan sembilan dewa utama dalam agama Hindu. (Pekandelan,
2009: 5) Dewa-dewa tersebut antara lain:
- Dewa Iswara penguasa arah timur
- Dewa Brahma Penguasa arah Selatan
- Dewa Mahadewa penguasa arah barat
- Dewa Wisnu penguasa arah utara
- Dewa Maheswara penguasa arah Tenggara
- Dewa Rudra penguasa arah Barat Daya
- Dewa Sangkara penguasa arah Barat Laut
- Dewa Sambhu penguasa arah Timur Laut
- Dewa Siwa penguasa arah Tengah
Ajaran Ilmu Leak menurut Jro Dasaran I Nyoman Suadi mengatakan kekuatan Dewata Nawa Sanga ini merupakan kekuatan
Tuhan yang menguasai alam semesta dengan kekuatan penjuru mata angin, kekuatan Dewata Nawa Sanga sering dipergunakan
dalam berbagai macam yajna di Bali,
bahkan dalam ilmu kediatmikan sering
dipergunakan untuk menambah kekuatan, sehingga semakin berguna ilmu yang sedang
dipelajari, bahkan para pendeta di Bali pasti memakai kekuatan Dewata Nawa Sanga untuk melindungi diri
beliau sebelum melaksanakan swadharmanya.
Hal ini dibenarkan dalam teks Pudak
Sategal disebutkan sebagai berikut:
Panugrahan Salwiring Gawe:
Iki
Panugrahan Salwiring Gawe, sasantun jinah, 250, sasapan sasantun, konkoning
Bhagawan Swakrama angrumakas salwiring gawe, aja ta mamiruda manusa iki, tadah
sajin ingsun, tlas. Kasidyana mantra, reh ngranasika, ma.,” Ang Sang Hyang
Candra Wisesa, Sang Hyang Prabangkara Wisesa, Sang Hyang Murti Jati Wisesa,
Sang Hyang Siwa Pramana, Sang Hyang Kawisesa, saptha munggah ring ngelak-lakan
ning ulun, bungkah ing atin ngulun, Ong Siwa muksah ring langit, Ong Bhatara
Guru muksah mungguh ring Padmasana manik, dening dewata Nawasangha Iswara,
Mahesora, Brahma, Ludra, Maha dewa, Singkara, Wisnu, Sambu, Siwa, Korsika,
Garga, Metri, Kurusya, sang Pratanjala, Indra, Baruna, Yama, Kwera, Bayu Bajra
Swarana, itinuting marga tiga jnanya, Ong Ang Mang, 3, kumdhap, bayunya ring
tngen, muksa miber rin langit, masiluman dadi aku singa putih, umetu aku Sang
Hyang Bhagawan Masnu,Ong Ong Ang Mang Sang Bang Tyi Dyi Pyi Kyi,3, wrda amarga
ring ambara, putih ring arpanya, Ah, 3, Ong Mang Ung, 3, jeng, tlas
Dewa-dewa
dalam ilmu Leak sering dipergunakan
dalam ajaran Pangiwa, seperti: Yogan Hyang Siwa Andakaru, Sang Hyang Siwa Tiga, Sang Hyang Siwa
Bhuwana, Sang Hyang Raja Pinulah, Sang Hyang Rampetagu, Bhagawan Pu Ceranggah,
Sang Hyang Tukuping-bhuana, Durga maya-maya, Durga-werawa, Sang Hyang Lingga
Bhuwana, Sang Hyang Durga Catur Wisesa, Sang Hyang Mertyu Wisesa, Sang Surya
Ketu
Berdasarkan hal tersebut diatas,
dapat disimpulkan kekuatan para dewa juga terdapat dalam kekuatan Pangiwa yang merupakan ajaran ilmu leak. Hal ini menunjukan kekuatan para
dewa tersebut, akan berguna dan bermanfaat asalkan sang pemakai mempercayai dan
melaksanakan dengan sungguh-sungguh. Hal ini menunjukan kekuatan para dewa,
selalu dipergunakan karena kekuatan tersebut merupakan ciptaan Tuhan beserta
manifestasinya, bertujuan agar manusia dapat sadar dan eling tentang adanya
kekuatan besar lainya, selain dirinya sendiri. Jika seseorang tersebut mampu
membuka rahasia alam semesta ini dengan sastra-sastra yang ada dan dipergunakan
dengan baik tentu akan menambah kesucian kita, sehingga ilmu leak dapat mengantarkan manusia menuju
kalepasan menyatu dengan Tuhan dan manifestasi-Nya.
2.4 Sarana-sarana dalam Ilmu Leak
Kekuatan sebuah ajaran pada intinya bermula dari
konsentrasi pikiran dan fokus mencapai tujuan. Oleh karena itu dipergunakanlah
sarana-sarana dalam ritualnya, sarana-sarana tersebut telah disebutkan dalam
kitab Bhagawadgitha, IX, 26, sebagai berikut:
Patram
puspam phalam toyam
Yo me bhaktya
prayacchati
Tad aham
bhakty-upatam
Asnami
prayatatmanah
Artinya
Siapapun dengan bhakti mempersembahkan
kepada-Ku sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku
terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci
Menurut Jro Mangku Puspa (wawancara,
9 januari 2010), sarana-sarana upacara yang dipergunakan dalam pangleakan, hampir sama dengan
sarana-sarana upacara lainya di Bali, karena sarana upacara menjadi satu
kesatuan bagi masyarakat Hindu di Bali, karena segala sesuatunya pasti memakai
sarana upacara, sehingga banyak pro-kontra atas pemakaian saran upacara
tersebut.
Menurut Jro Dasaran I Nyoman Suadi
(wawancara, 5 Januari 2010), mengatakan sarana-sarana dalam ritual pangleakan, tentu sama dengan sarana
upacara lainya di Bali, karena semuanya produk Bali yang telah dimodifikasi,
jadi semuanya ada tingkatanya, yaitu Nista,
Madya, Utama dan penjelasan lainya. Kalau utama, maka tebusan dan lain sebagainya pun lebih banyak, karena
ini telah menjadi hukum alam.
Berikut beberapa teks yang
menjelaskan tentang sarana-saran yang terdapat dalam ilmu Leak:
Iki
pengater pengiwa……….. yan mahyun sira weruh mangleak rekep iki tigang kajeng
kliwon, maring, natar kamulane, nga, aturan maring Hyang Guru. Maring kemulan,
sesayut panca ronga, atanding maiwak sata putih, mapanggang. Ring sang
manglekas namping sesayut siddha karya atanding, canang, 11, tanding, sarwa miik
asep, menyan, majegau, rengep antuk mantra, wus mangidepang wtuwang mantrane,
suing, ping 3. Pinang gni tabunane, mang……. ( dasar Pengiwa )
Pangiwa Siwa Wijaya
Iki
Pengelesuannia……………Sa : Wastra putih ne suci
sekar tunjung putih lawa 9. Sekarang disiwa duara bantenia suci 4, catur
warna nganutin genah ulamnia ring sucine 1 itik putih ne purwwa itik mebulu
ulam ne daksina, angsa ne pascima banyak ne utara ma-malih ajengan selaan
nganutin urip meulam sata catur warna olahan manut ing genah rauhin jajatah
lembat asem calon pulung metatakan kelebang don buah miyek sesantun 4, jinahnia
pur 5.000 da, 9 ,pa, 7 u, 4.pigung sami 25.000. beras 25, catu ditengah ing
latri. (Aji pengeleakan)
Dari
dua mantra tersebut diatas dapat diperhatikan, bahwa semakin tinggi tujuan yang
akan dicapai, maka sarana yang dipergunakan pun semakin besar, karena labaan yang di berikan semakin banyak
untuk mencapai cita-cita penekun ilmu leak tersebut.
2.4.1
Belajar Menjadi Leak
Menurut Jro
Mangku Pekandelan (2006: 24-25), Tata cara menjadi Leak Sari ini, berbeda
dengan tata cara untuk menjadi Leak
Pamoroan, Leak Ugig. Pada malam tanggal apisan,
yakni hari pertama terang bulan, diperempatan jalan dihaturkan sajen berupa
nasi Tumpeng barak (nasi tumpeng
merah), ayam panggang buik (bulu
merah), kelapa beras dan uang kepeng yang jumlahnya masing-masing 9 buah. Sajen ini ditaruh di sanggah cukcuk yang ditancapkan
diperempatan jalan tersebut. Orang yang akan mempelajari ajaran ini, berdiri
menghadap ke selatan, tempat kedudukan Dewa Brahma dan mengucapkan mantra:
“Om, Ah, Ang Sang Hyang Brahma Wisesa, ingsun
aminta lugraha kesaktian. Ong sidhi rastu astu”.
Mantra
ini diucapkan tiga kali. Tubuh dilemaskan, napas ditahan beberapa saat, ujung
lidah dilipat ke langit-langit.
Bayangkan Dewa Brahma bersemayan di hati. Kemudian berputar kekiri (putar kiwa) sambil membaca mantra,
mula-mula kearah utara, lalu ke barat kemudian ke timur. Seterusnya tengadahkan
kepala ke atas dan kemudian menunduk ke bawah. Ingat, pada setiap arah
pandangan itu, mantra tersebut diatas diucapkan sebanyak tiga kali. Selanjutnya
bayangkan Dewa Brahma keluar dari hati naik ke atas dan keluar lewat mata kanan
atau mulut. Dia memancarkan sinar yang terang benderangmenuju kearah tenggara,
tempat kedudukan Dewa Sangkara yang bersenjatakan dupa murub, mantra:
“Om, Ah, Ang Sang Hyang Brahma Wisesa. Ong
agni murub sakalangan, murub angabar-abar sekadi gunung Mahameru, ebek menyeleg
panes, bedah ring akasa, tagel betel ring sapta patala, metu gni maring tingale
Betara Hyang Parameswara, ring tingale tengen ida metu, mengeseng mengelebur
sakwehing………………………….(dasamala)
Ong
sidhi rastu-astu, poma, poma, poma”.
Berdasarkan hal itu,
sarana upacara yang diperlukan dalam proses pelaksanaan ritual pangleakan sama dengan upacara Hindu di
Bali, namun tujuanya yang berbeda-beda, sebab sarana adalah sebuah jembatan
untuk mencapai sesuatu, termasuk penyatuan terhadap Tuhan melalui proses Ilmu Leak.
Daftar
Pustaka
Capra,
Fritjof. The Tao Of Physics Menyikap
Kesetaraan Modern dan Mistisme timur. Bandung: Jalasutra
Kardji,
I Wayan. 1999. Ilmu Hitam dari Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Kardji,
I Wayan. 2006. Tutur Penangkal Ilmu Hitam.
Surabaya: Paramita.
Nala,
Ngurah. 2006. Aksara Bali Dalam usadha.
Surabaya: Paramita.
Nyoka. 1994. Kerakah
Modre-II. Denpasar: Ria.
Sivananda,
Sri Svami. 2003. Intisari Ajaran Agama
Hindu. Surabaya: Paramita.
Titib,
I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol
Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.